Kata yang Menyembuhkan: Menerapkan Gagasan Joseph Telushkin dalam Coaching Gen Z dan Milenial
By Ferry Irawan
Di tempat kerja yang serba cepat, kata-kata sering kali digunakan tanpa pikir panjang. Tapi bagi Gen Z dan Milenial yang tumbuh dengan kesadaran akan emosi dan makna, satu kata bisa berarti dukungan… atau penghakiman. Pertanyaannya: apakah Anda sedang membimbing, atau justru melukai, lewat ucapan Anda?
Ideas in Brief
Masalah: Banyak pemimpin menggunakan bahasa yang tak disadari bisa menyakiti saat coaching tim Gen Z dan milenial, yang sangat peka terhadap nada dan konteks komunikasi.
Solusi: Mengadopsi prinsip dari buku Words That Hurt, Words That Heal karya Joseph Telushkin untuk menerapkan coaching berbasis empati, mendengarkan aktif, dan komunikasi yang menyembuhkan.
Manfaat:
Meningkatkan kepercayaan dan keterbukaan anggota tim
Menciptakan lingkungan kerja yang aman secara psikologis
Menjadikan coaching sebagai alat pertumbuhan, bukan tekanan
Kunci Sukses: Gunakan kata-kata yang membangun, hindari sindiran atau penghakiman, hadir secara penuh saat coaching, dan jadikan komunikasi empatik sebagai budaya tim.
Kata adalah Alat Kepemimpinan
“In a world full of noise, meaningful words arethe new leadership currency.”
Harvard Business Review
Pemimpin hari ini tak cukup hanya cakap membuat strategi. Mereka juga harus piawai memilih kata. Dalam buku Words That Hurt, Words That Heal, Joseph Telushkin menegaskan bahwa kata-kata bisa menjadi sumber luka atau penyembuh. Dalam konteks pekerjaan, terutama saat melakukan coaching terhadap Gen Z dan milenial, pemilihan kata menjadi salah satu kunci kepemimpinan yang efektif.
Gen Z dan milenial tumbuh di lingkungan yang lebih terbuka terhadap ekspresi diri, lebih akrab dengan isu kesehatan mental, dan lebih kritis terhadap otoritas yang tak berempati. Bagi mereka, kata-kata bukan sekadar komunikasi—kata adalah cermin niat. Satu kalimat bisa membangun kepercayaan, atau sebaliknya, mematikan semangat.
Karena itu, pemimpin yang ingin membimbing generasi ini perlu mengadopsi pendekatan coaching yang berakar pada kesadaran berbahasa. Coaching bukan tempat untuk menggurui, melainkan ruang untuk mendengar, menyimak, dan menanggapi dengan bijak.
Telushkin dan Etika Komunikasi Pemimpin
Telushkin membagi komunikasi menjadi dua spektrum: yang menyakiti dan yang menyembuhkan. Kata-kata yang menyakiti sering kali lahir bukan dari niat buruk, melainkan dari ketidaksadaran. Misalnya, komentar seperti “Kamu terlalu sensitif” atau “Dulu, saya bisa kerja tanpa banyak mengeluh” mungkin terdengar biasa, tapi bisa merusak kepercayaan anggota tim muda.
Sebaliknya, kata-kata yang menyembuhkan bukan berarti selalu manis. Kadang, itu adalah kejujuran yang disampaikan dengan empati. Kalimat seperti “Saya tahu kamu sedang kesulitan, apa yang bisa saya bantu?” atau “Boleh cerita apa yang membuat kamu merasa frustrasi?” menunjukkan perhatian dan membuka ruang dialog yang jujur.
Coaching yang Menyentuh, Bukan Menyudutkan
“Gen Z doesn’t just want a manager. They want a mentor who listens, reflects, and respects.”
Adaptasi berdasarkan temuan Gallup & Deloitte
Dalam praktik coaching, pendekatan berbasis “kata yang menyembuhkan” dimulai dengan mendengarkan secara aktif. Pemimpin perlu hadir sepenuhnya, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional. Hindari respons yang memotong cerita atau menghakimi terlalu cepat.
Coaching yang efektif tidak melulu tentang solusi. Terkadang, anggota tim hanya ingin dimengerti. Di sinilah pentingnya menggunakan bahasa yang membangun kepercayaan: kata-kata yang menenangkan, membuka ruang berpikir, dan tidak menyudutkan.
Feedback sebagai Ladang Empati
Memberikan umpan balik kepada Gen Z dan milenial bisa jadi tantangan tersendiri. Mereka menghargai kejelasan, tapi juga sangat peka terhadap nada komunikasi. Feedback yang terlalu tajam bisa terasa seperti serangan pribadi.
Mengikuti prinsip Telushkin, pemimpin bisa memulai dengan apresiasi, kemudian mengajak refleksi. Misalnya: “Saya lihat kamu punya potensi besar dalam menyusun ide. Bagaimana menurutmu jika kita evaluasi ulang cara kamu mempresentasikannya agar lebih kuat?” Dengan begitu, kritik menjadi ruang kolaboratif, bukan ancaman.
Penerapan Words That Heal tidak berhenti di satu sesi coaching. Ini harus menjadi bagian dari budaya komunikasi tim. Pemimpin perlu menjadi teladan dalam berbahasa: tidak bergosip, tidak menyindir, dan tidak mempermalukan di depan umum.
Lingkungan kerja yang aman secara psikologis dibentuk dari percakapan-percakapan kecil yang berlangsung setiap hari. Ketika pemimpin menunjukkan bahwa setiap kata punya konsekuensi, tim pun belajar untuk saling menjaga.
Kata adalah Investasi
“Words can hurt more deeply than physical blows—and they can heal with even more power.”
Joseph Telushkin
Kepemimpinan di era Gen Z dan milenial menuntut lebih dari sekadar kecepatan dan visi. Dibutuhkan sensitivitas dalam berkomunikasi. Kata-kata adalah alat utama coaching, dan seperti kata Telushkin, “Bahasa bisa menjadi racun, atau obat.”
Saat pemimpin memilih untuk menyembuhkan, bukan menyakiti, coaching bukan hanya tentang kinerja—tapi tentang hubungan, pertumbuhan, dan kepercayaan.
Pertanyaan Reflektif
Apakah saya cenderung menggunakan kata-kata yang membangun atau justru menyudutkan saat memberikan umpan balik?
Seberapa sering saya benar-benar mendengarkan tanpa langsung merespons saat sesi coaching atau diskusi dengan anggota tim?
Apa satu contoh komunikasi saya yang pernah memperbaiki hubungan, dan apa yang membuat kata-kata saya berdampak saat itu?
Rencana Aksi Pribadi
Dalam dua minggu ke depan, saya akan berlatih menggunakan bahasa empatik dalam setiap percakapan coaching, dimulai dengan kalimat seperti: “Saya mendengarkan…” atau “Ceritakan lebih banyak…”.
Saya akan menuliskan ulang contoh kritik saya sebelumnya, lalu mencari cara agar bisa disampaikan dengan lebih membangun dan menyembuhkan.
Leave a Reply