By Ferry Irawan

“Generasi sekarang tuh baperan!” Pernah dengar kalimat seperti ini di tempat kerja? Atau mungkin… Anda pernah mengucapkannya sendiri? Tapi, sebelum buru-buru menyimpulkan, coba tanyakan: apakah cara kita memberi umpan balik sudah cukup relevan untuk mereka?
Ideas in Brief
- Masalah: Banyak pemimpin kesulitan memberi feedback yang efektif kepada Gen Z dan Milenial karena perbedaan harapan, nilai, dan gaya komunikasi.
- Solusi: Menerapkan prinsip dari buku Thanks for the Feedback yang menekankan bahwa penerima umpan balik adalah pihak yang mengendalikan pengalaman, bukan pemberi feedback.
- Manfaat: Hubungan kerja jadi lebih terbuka, kolaboratif, dan produktif. Feedback tak lagi dianggap menghakimi, tapi justru membangun.
- Kunci Sukses: Latih empati, kenali jenis feedback, dan ciptakan ruang psikologis yang aman untuk proses umpan balik dua arah.
Mengapa Feedback Perlu Diubah Formatnya?
Menurut riset Gallup, 44% pekerja Milenial mengatakan mereka tidak pernah mendapat umpan balik yang bermakna selama sebulan terakhir. Gen Z bahkan menganggap feedback sebagai “penentu apakah saya berkembang atau stuck”. Namun banyak pemimpin masih menyamakan feedback dengan “kritik” atau “evaluasi kinerja”. Ini problem awalnya.
Stone dan Heen menulis, “Feedback is not about what is said. It’s about how it is received.” Dengan kata lain, bukan hanya soal apa yang kita sampaikan, tapi bagaimana penerima memprosesnya. Ini menempatkan Gen Z dan Milenial sebagai aktor aktif, bukan objek pasif.
3 Jenis Feedback dan Kapan Menggunakannya
Buku Thanks for the Feedback membagi feedback ke dalam tiga jenis:
- Appreciation (Apresiasi): “Kerja kamu hari ini luar biasa. Terima kasih.”
- Coaching (Pembinaan): “Coba di presentasi selanjutnya, kamu fokus ke struktur ide agar lebih kuat.”
- Evaluation (Evaluasi): “Dalam standar tim kita, hasil ini masuk kategori ‘perlu perbaikan’.”
Kesalahan yang sering terjadi? Terlalu sering memakai evaluasi, terlalu jarang menggunakan coaching, dan lupa memberi apresiasi. Padahal, Milenial dan Gen Z sangat menghargai coaching-based feedback karena mereka ingin berkembang, bukan sekadar dinilai.
Coaching Moment: Praktik di Dunia Nyata
Contoh: Seorang pemimpin tim marketing bernama Rika punya anggota Gen Z bernama Dito. Setelah presentasi yang kurang rapi, Rika bisa saja langsung berkata, “Itu buruk. Kamu harus lebih siap.”
Namun, dengan pendekatan feedback dari buku ini, Rika memilih berkata:
“Dito, saya tahu kamu kerja keras banget untuk presentasi tadi. Saya juga lihat kamu coba menjangkau audiens. Saya ingin bantu kamu memperkuat alur ceritanya supaya lebih meyakinkan. Boleh kita atur waktu untuk bahas itu bareng?”
Apa bedanya? Nada, niat, dan arah pembicaraan berubah dari ‘menghakimi’ menjadi ‘mendukung’. Dito merasa dihargai sekaligus ditantang untuk bertumbuh.
Apa yang Dicari Gen Z dan Milenial dari Feedback?
Menurut Deloitte, pekerja muda ini ingin:
- Feedback yang real-time dan terarah
- Komunikasi dua arah, bukan satu arah
- Ruang aman untuk bertanya tanpa takut dihakimi
- Pemimpin yang juga mau mendengar, bukan hanya mengoreksi
Feedback bukan lagi “saya menilai kamu,” tapi “kita bertumbuh bersama.”
Mindset Pemimpin yang Perlu Disesuaikan
Berdasarkan prinsip Susan David dalam Emotional Agility, pemimpin perlu melepaskan ego saat memberi feedback. Tujuan utama bukan menunjukkan siapa yang salah, tapi membuka percakapan tentang kemungkinan baru.
Kuncinya ada pada 3 hal:
- Curiosity (Rasa Ingin Tahu): Tanyakan dulu, “Bagaimana menurut kamu proses kerja kemarin?”
- Clarity (Kejelasan): Hindari pesan yang samar. Jelaskan konteks dan harapan.
- Compassion (Kepedulian): Tunjukkan niat bahwa feedback ini untuk kebaikan mereka, bukan sekadar koreksi.
Latihan Harian: Feedback Diary
Pemimpin bisa melatih kepekaan feedback lewat feedback diary. Setiap hari, catat:
- Siapa yang Anda beri feedback?
- Jenis feedback (apresiasi, coaching, evaluasi)?
- Apa reaksi mereka?
- Apa yang bisa Anda perbaiki?
Refleksi ini membantu pemimpin belajar dari pengalaman, bukan teori.
Feedback yang Efektif = Kolaborasi
Gen Z dan Milenial tak butuh pemimpin yang sok tahu segalanya. Mereka ingin pendamping yang mau belajar bareng. Feedback yang baik membangun relasi, bukan membuat jarak. Ingat prinsip dari Stone dan Heen:
“We swim in feedback, but we fail to notice when we’re drowning or when we need a lifeboat.”
Pertanyaan Reflektif
- Seberapa sering saya memberi feedback dalam bentuk coaching, bukan evaluasi?
- Apakah saya lebih sering berbicara daripada mendengar saat memberi umpan balik?
- Apa satu hal kecil yang bisa saya ubah dalam cara memberi feedback minggu ini?
Rencana Aksi Pribadi
- Mulai gunakan kalimat “Saya ingin mendengar pendapat kamu dulu sebelum memberi masukan.”
- Buat jadwal check-in singkat mingguan dengan tim Gen Z/Milenial untuk memberi feedback real-time.
- Evaluasi cara memberi umpan balik menggunakan prinsip 3C: Curiosity, Clarity, Compassion.
Leave a Reply