By Ferry Irawan

Motivasi bukan soal insentif, ancaman, atau target jangka pendek. Di era kerja modern, terutama untuk Gen Z dan Milenial, pendekatan lama dalam memotivasi justru bisa jadi bumerang. Kalau motivasi itu bukan sesuatu yang bisa diberikan dari luar, lalu bagaimana pemimpin bisa menumbuhkannya?.
Ideas in Brief
- Masalah: Banyak pemimpin masih memakai pendekatan kontrol dan hadiah-hukuman untuk memotivasi, yang justru mematikan motivasi jangka panjang Gen Z dan Milenial.
- Solusi: Terapkan konsep dari Why Motivating People Doesn’t Work… And What Does karya Susan Fowler yang berfokus pada motivasi optimal berbasis pilihan, koneksi, dan kompetensi.
- Manfaat: Pekerja jadi lebih engaged, mandiri, dan bertumbuh secara intrinsik. Organisasi pun mendapat hasil kerja yang lebih konsisten dan berkualitas.
- Kunci Sukses: Pemimpin harus bergeser dari peran sebagai “pengontrol motivasi” menjadi “fasilitator motivasi” yang mendukung otonomi dan pertumbuhan.
Motivasi yang Salah Kaprah
Selama ini, banyak organisasi meyakini bahwa sistem bonus, target tinggi, atau penghargaan akan otomatis mendorong kinerja. Tapi seperti yang ditulis Susan Fowler, “People are not unmotivated—they’re just not optimally motivated.” Artinya, orang selalu punya motivasi. Tapi apakah motivasi itu sehat dan berkelanjutan?
Mengutip dari Tony Robbins: “People are not lazy. They simply have impotent goals — that is, goals that do not inspire them.” Dengan kata lain, pada dasarnya orang tidak malas, tetapi mereka mungkin tampak malas karena tujuan yang mereka miliki tidak membangkitkan semangat, gairah, atau keinginan yang kuat untuk dicapai. Jika Anda ingin membuat mereka lebih termotivasi, fokuslah untuk menetapkan tujuan yang benar-benar membangkitkan semangat mereka.
Gen Z dan Milenial tumbuh di lingkungan yang menuntut makna, bukan sekadar angka. Menurut Deloitte Millennial Survey (2023), 44% Gen Z dan 43% Milenial mengatakan bahwa “makna dan nilai kerja” lebih penting daripada gaji besar. Jika mereka merasa hanya dimotivasi untuk menyelesaikan pekerjaan tanpa koneksi pada nilai pribadi, burnout bisa muncul.
Apa Itu Motivasi Optimal?
“When people feel autonomous, connected, and competent, they don’t need to be managed—they manage themselves.” — Daniel Pink
Fowler membagi motivasi menjadi dua kelompok besar: suboptimal atau ekstrinsik (eksternal, imbalan, tekanan) dan optimal atau intrinsik (berbasis tujuan, koneksi, dan pertumbuhan). Motivasi optimal lebih kuat dan berkesinambungan daripada motivasi suboptimal, karena motivasi ini datang dari dalam diri sendiri.
Bagaimana cara pemimpin menumbuhkan motivasi optimal ini? Ada tiga kebutuhan psikologis di dalam diri setiap orang yaitu:
- Choice (Pilihan): Kebutuhan untuk merasa punya pilihan dan kendali atas tindakan sendiri.
- Connection (Koneksi): Kebutuhan untuk merasa terhubung dengan orang lain dan tujuan yang lebih besar.
- Competence (Kompetensi): Kebutuhan untuk merasa mampu mengerjakan tugas dan berkembang.
Pemimpin yang mampu memfasilitasi tiga kebutuhan ini tidak perlu terus-menerus “memotivasi” timnya. Pekerja akan memotivasi diri mereka sendiri. Oleh karena itu, peran pemimpin adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan orang lain termotivasi oleh diri mereka sendiri.
Studi Kasus: Praktik di Kehidupan Nyata
1. Memberi Pilihan, Bukan Paksaan
Di sebuah perusahaan startup digital, manajer proyek mengubah pendekatan dari “Kita harus deliver fitur ini minggu depan!” menjadi “Dari backlog minggu ini, fitur mana yang paling ingin kamu prioritaskan dan kenapa?”
Alih-alih merasa terpaksa, anggota tim justru merasa dilibatkan dan berkontribusi. Rasa memiliki meningkat, begitu pula kualitas output.
2. Mengaitkan Tugas dengan Makna
Seorang pemimpin tim customer experience di perusahaan e-commerce selalu membuka weekly meeting dengan cerita nyata dari pelanggan. “Tiket yang kita tangani bukan sekadar komplain—tapi momen penting yang bikin pelanggan merasa dihargai.”
Ini menciptakan koneksi antara tugas sehari-hari dengan misi besar: menghadirkan pengalaman positif.
3. Tawarkan tantangan baru dan Beri dukungan
Manajer di perusahaan fintech mulai menerapkan coaching one-on-one berbasis pertumbuhan: “Apa yang kamu pelajari minggu ini? Tantangan apa yang paling membantumu berkembang?”
Dengan fokus pada progres, bukan semata hasil, karyawan merasa dihargai dan didukung untuk bertumbuh.
Coaching Tip: Jadikan Motivasi sebagai Percakapan, Bukan Instruksi
Dalam sesi coaching, hindari pertanyaan seperti: “Kamu mau dapet bonus, kan?” Ganti dengan:
- “Apa hal paling berarti dari tugas ini untukmu?”
- “Bagian mana dari pekerjaan yang membuatmu bangga?”
- “Apa tantangan berikutnya yang ingin kamu taklukkan?”
Seperti yang dikatakan Susan Fowler: “Motivasi sejati bukanlah sesuatu yang Anda lakukan kepada orang lain; itu adalah sesuatu yang Anda ciptakan bersama mereka,” motivasi yang langgeng dan bermakna tidak bisa dipaksakan atau diberikan dari luar kepada seseorang. Alih-alih mencoba “melakukan” motivasi kepada orang lain, fokuslah untuk menciptakan kondisi dan hubungan yang memungkinkan mereka menemukan motivasi mereka sendiri.
Siap meninggalkan cara lama dan membangun tim yang benar-benar termotivasi dari dalam? Mulailah dengan mengubah cara Anda memimpin hari ini.
Pertanyaan Reflektif
- Apakah saya selama ini memberi ruang bagi tim untuk membuat pilihan sendiri?
- Bagaimana saya mengaitkan tugas harian tim dengan tujuan yang lebih besar?
- Apakah saya hanya menilai hasil, atau juga menghargai proses dan pertumbuhan?
Rencana Aksi Pribadi
- Audit gaya kepemimpinan saya: Apakah lebih banyak kontrol, atau fasilitasi?
- Mulai satu percakapan coaching berbasis makna setiap minggu.
- Tanya ke tim: “Apa yang bisa saya ubah agar kamu merasa lebih punya pilihan dalam pekerjaan?”
Ngerasa artikel ini relate dan berguna? Cuss share ke teman-teman kamu juga!
Leave a Reply